pada 10 Jul 2019, 07:00 WIB
Liputan6.com, Purbalingga - Selayaknya wilayah di kaki gunung berapi, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah diberkahi tanah vulkanik yang begitu subur. Rempah-rempah, tebu, kopi, hingga tembakau dibudidayakan di wilayah lereng Gunung Slamet ini.
Namun, kini Purbalingga lebih dikenal sebagai kabupaten penghasil bulu mata dan rambut palsu. Investor Penanaman modal asing (PMA) mendirikan puluhan perusahaan yang mempekerjakan puluhan ribu buruh, baik karyawan langsung maupun di plasma-plasmanya.
Siapa sangka, industri tembakau pernah begitu berjaya di sini dan menjadi sandaran hidup masyarakanya. Tembakau memiliki jejak sejarah panjang di kabupaten ini.
“Di Purbalingga pernah ada Tobbaco Indonesia Coorporation (TIC)
yang mengekspor tembakau berkualitas untuk bungkus cerutu ke Bremen,
Jerman,” kata Ketua Forum for Economic Development and Employment
Promotion (FEDEP), Tri Daya Kartika, dalam keterangannya, Selasa
(9/7/2019).
Tri
Daya memaparkan sejarah tembakau di Purbalingga dalam diskusi terfokus
‘Sejarah Tembakau di Purbalingga dan Perkembangannya’ yang
diselenggarakan oleh Bagian Perekonomian, Sekretariat Daerah Kabupaten
Purbalingga, di Warung Djoglo.
TIC
itu lantas dinasionalisasi menjadi perusahaan Gading Mas Indonesia
Tobacco (GMIT) usai Indonesia merdeka. GMIT mencapai masa keemasan dan
berjaya sampai era tahun 1980-an.
GMIT adalah perusahaan yang terkemuka waktu itu. Gudang-gudang tembakaunya besar dan berjumlah puluhan. Gudang GMIT tersebar di berbagai wilayah Purbalingga.
2 of 4
Masa Jaya Tembakau Hindia Belanda
Tobbaco
Indonesia Coorporation (TIC), Purbalingga, dinasionalisasi menjadi
perusahaan Gading Mas Indonesia Tobacco (GMIT) usai Indonesia merdeka.
(Foto: Liputan6.com/Dinkominfo PBG/Muhamad Ridlo)
Pada
masa kejayaan GMIT, di wilayah Padamara dan Kutasari saja setidaknya
ada empat gudang tembakau. Yaitu di Padamara, Kalitinggar, Karangarenn
dan Karanggambas.
Gudang
tembakau GMIT juga ada di Desa Beji dan Pagutan, Kecamatan Bojongsari.
Gudang lainnya berada di Desa Kalapacung, Gunung Karang dan Karang Duren
yang ada di Kecamatan Bobotsari.
“Gudang
tembakau itu berfungsi untuk penyimpanan dan ngomprong daun tembakau,
daunnya lebar-lebar karena untuk bungkus cerutu,” dia menjelaskan, dalam
keterangannya, Selasa malam.
Tri
Daya yakin, lahan tembakau di Purbalingga saat itu saat itu sangat
luas. Dia memperkirakan lahan budidaya tembakau mencapai ribuan hektare.
Sejarawan
dan anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Purbalingga, Ganda Kurniawan
mengungkapkan, catatan pemerintah Hindia Belanda sudah menyebut bahwa di
Purbalingga sudah ada perkebunan tembakau sejak 1906.
Dalam
buku De Tabaksplantages Op Sumatra, Java en Borneo, yang ditulis oleh
J.H. Lieftinck & Zoon (Amsterdam, 1906) di wilayah Karesidenan
Banyumas ada empat perusahaan tembakau. Dua di antaranya ada di wilayah
Purbalingga.
Pertama
ada perusahaan De Erven de wed. J. Van Nelle yang dimiliki oleh H.
Burgmans. Perusahaan yang berbasis di Rotterdam itu memproduksi tembakau
dengan merk Van Nelle. Meerk ini tidak hanya dikenal di Indonesia namun
juga dipasarkan hingga ke Eropa.
Kedua, perusahaan Kandanggampang Mulder Redeker & Co yang dimiliki oleh Cornelis Johannes.
3 of 4
Petani Tembakau Lokal yang Tersisa
Masyarakat
pedesaan Banyumas dan Purbalingga masih melestarikan budaya ‘nglinting’
tembakau Jawa, dengan klembak, menyan dan uwur. (Foto:
Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Catatan lainnya, pada peta terbitan Pemerintah Belanda pada 1917 juga tercatat beberapa gudang tembakau yang disebut dengan Tabakloodsen.
Di antaranya ada di Kandanggampang, Penaruban di dekat jembatan lama
Sungai Klawing, Karanglewas dan Walik, Kecamatan Kutasari serta Pagutan,
Kecamatan Bojongsari.
Sementara,
di peta Belanda terbitan 1944, tercatat ada gudang tembakau di
Kelurahan Karangsentul yang sekarang menjadi Gudang Bulog, satu gudang
Planjan, Kecamatan Kalimanah dan tiga gudang di Desa Patemon, Kecamatan
Bojongsari.
Ganda meyakini dengan fakta-fakta itu bahwa Purbalingga pernah menjadi sentra industri tembakau.
“Bahkan salah satu petinggi perusahaan van Nelle bernama H. Brugmans dimakamkan di Kerkhof Purbalingga,” katanya.
Data
Dinas Pertanian Kabupaten Purbalingga, tanaman tembakau di Purbalingga
hanya tersisa sekitar 12 hektar. Itu pun bukan tanaman utama dan lebih
banyak digunakan untuk keperluan sendiri.
Seorang
petani yang masih gigih melestarikan tembakau lokal khas nusantara
adalah Ratno, warga Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga. Ia
menanam tembakau lokal yang benihnya diturunkan sejak puluhan tahun
silam.
“Kami menanam dengan sistem tumpang sari dan hanya setahun sekali di sekitar tanggul tanaman sayuran,” ucap Ratno.
Menurut
Ratno, tanaman tembakau masih banyak dibudidayakan sampai tahun
1990-an. Namun, perlahan, tembakau terdesak tanaman sayuran seperti
kentang dan cabe yang dinilai lebih menjanjikan dari sisi ekonomi.
Budayawan
Purbalingga, Agus Sukoco menilai sudah seharusnya Purbalingga belajar
pada sejarah. Sejarah panjang tembakau di Purbalingga adalah bukti bahwa
tembakau merupakan komoditas yang cocok dengan karakteristik alam
Purbalingga.
Muaranya,
petani bakal sejahtera. Tentu saja, perlu dorongan seluruh pihak agar
tembakau nusantara kembali berjaya di tanah leluhurnya.
4 of 4
Respon Pemkab Purbalingga
Diskusi
terfokus ‘Sejarah Tembakau di Purbalingga dan Perkembangannya’ yang
diselenggarakan oleh Bagian Perekonomian, Sekretariat Daerah Kabupaten
Purbalingga, di Warung Djoglo, Purbalingga. (Foto:
Liputan6.com/Dinkominfo PBG/Muhamad Ridlo)
“Saya
yakin Belanda memutuskan untuk menanam tembakau dan komoditas
perkebunan lainnya di Purbalingga dengan pertimbangan dan penelitian
mendalam sehingga bisa berhasil dengan baik, kita tinggal merawat dan
menduplikasinya,” ucap Agus.
Kepala
Bagian Perekonomian Sekretarat Daerah Kabupaten Purbalingga Edhy
Suryono mengakui Purbalingga sampai saat ini memang tak tercatat sebagai
daerah penghasil tembakau. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBHCHT) yang diperoleh berasal dari setoran cukai pabrik rokok yang
beroperasi di wilayah Purbalingga.
“Bukan karena penghasil tembakau,” ucap Edhy.
Ada
dua perusahaan penyetor cukai hasil tembakau di Kabupaten Purbalingga,
yaitu, PT Mitra Karya Tri Utama (MKTU) yang merupakan rekanan PT HM
Sampoerna dan CV King Brewery, produsen liquid vape.
“Setoran
cukai kita pada tahun 2019 cukup besar, sekitar Rp 145 milyar dan yang
dialokasikan kembali dalam bentuk DBHCHT sekitar Rp. 6,8 milyar,” Edhy
menjelaskan.
Sebagai
informasi, dasar pembagian DBHCHT adalah setoran cukai hasi tembakau
dan produksi tembakau. Karenanya, Bagian Perekonomian selaku Sekretariat
DBHCHT ingin mendorong agar Purbalingga bisa kembali diakui sebagai
daerah penghasil tembakau sehingga alokasi DBHCHT pun bisa naik.
“Kita
memiliki sejarah manis kejayaan industri tembakau, dengan kerjasama
berbagai stakeholder kejayaan itu bukan tidak mungkin akan kita raih
kembali,” ujarnya.
Gayung
pun bersambut, Bappelitbangda menyatakan siap untuk memfasilitasi
kegiatan-kegiatan pengembangan tembakau di Purbalingga. Kepala Bidang
Ekonomi Bappelitbangda Kabupaten Purbalingga, Sukram juga menyambut baik
usulan TACB Kabupaten Purbalingga agar dibangun museum mini yang
menceritakan kejayaan tembakau.
“Tahun 2020 bisa kita anggarkan demplot-demplot dan pendampingan petani tembakau,” kat Sukram.